Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

[Kajian] Pengolahan Bambu dan Pemanfaatannya dalam Usaha Pengembangan Industri Kecil Menengah dan Kerajinan

Kerajinan Bambu


PENGOLAHAN BAMBU DAN PEMANFAATANNYA DALAM USAHA PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL MENENGAH DAN KERAJINAN

THE MANUFACTURING AND UTILIZATION OF THE BAMBOO FOR IMPROVING THE SMALL AND MEDIUM HANDICRAFT INDUSTRY

Arhamsyah*)

*)Peneliti Baristand Industri Banjarbaru

 

ABSTRAK

Dalam masyarakat pedesaan di Indonesia, bambu memegang peranan penting dalam kehidupannya. Bambu dikenal oleh masyarakat mempunyai sifat-sifat yang baik untuk dimanfaatkan antara lain batangnya yang cukup kuat, keras, lurus dan rata, mudah dibelah, mudah dibentuk dan mudah dikerjakan. Dibandingkan dengan kayu, bambu mempunyai kelemahan teknis (sifat fisis, mekanis dan kimia), sehingga belum dimanfaatkan secara optimal. Untuk memanfaatkan bambu secara optimal maka dilakukan proses pengolahan bambu berupa pengawetan, pengeringan, stabilisasi warna, bambu lapis, bambu lamina dan lain- lain, sehingga nilai tambah dan kualitas bambu dapat ditingkatkan dalam usaha untuk pengembangan industri kecil menengah dan kerajinan.

Kata kunci : bambu, pengolahan, kualitas


ABSTRACT

Bamboo has an important rule in the rural culture in Indonesia. Bamboo has strong, hard, straight and flat stem, also easy to be cut and made. Compare with wood, bamboo has some technical (physical, mecanical and chemical) weakness, so it has not been used optimally. To use bamboo optimally, we can use lamination, preservation, drying, colour stabilization, and layer so we can improve the value and the quality for improving small and medium handicraft industry.

Key word : bamboo, quality, utilization

 I. PENDAHULUAN

Bambu bukanlah tanaman asing bagi masyarakat kita khususnya masyarakat pedesaan. Sudah sejak dahulu tanaman bambu merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, baik untuk perabot rumah tangga, bahan bangunan rumah, bahkan urusan perut sebagai bahan sayuran. Namun sejalan dengan kemajuan jaman, nampaknya bambu seolah-olah mulai ditinggalkan, karena orang lebih tertarik menggunakan kayu, plastik, besi dan semen dari pada bambu. Namun demikian untunglah bahwa tidak semua orang melupakan bambu. Bambu masih diminati banyak orang untuk berbagai keperluan sehari-hari seperti furniture, perkakas rumah tangga dan kandang  ternak (Markus, 2009).

Di dunia terdapat lebih dari  1.250 jenis bambu yang berasal dari 75 genus. Dari jumlah tersebut di Indonesia terdapat 39 jenis bambu yang berasal dari 8 genus. Bambu tergolong keluarga Gramineae (rumput-rumputan disebut juga Hiant Grass (rumput raksasa) yang tumbuh secara bertahap dari mulai rebung, batang muda dan sudah dewasa pada umur 4–5 tahun (Danaatmaja, 2009). Tanaman bambu di Kalimantan Selatan kebanyakan  dijumpai di Desa Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan yang merupakan campuran daerah dataran rendah dan pegunungan. Pada umumnya ditemukan di tempat-tempat terbuka dan daerahnya bebas dari genangan air. Tanaman ini hidup merumpun dengan batang yang  beruas dan berbuku. Pada ruasnya ditumbuhi cabang-cabang yang berukuran lebih kecil dibanding dengan buluhnya sendiri. Pada ruas-ruas ini tumbuh akar-akar sehingga pada bambu dimungkinkan untuk memperbanyak tanaman dari potongan- potongan ruasnya, disamping tunas-tunas rumpunnya (Firdaus, 2008).

Dalam masyarakat pedesaan di Indonesia, bambu memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupannya. Bambu dikenal oleh masyarakat mempunyai sifat-sifat yang baik untuk dimanfaatkan antara lain: batangnya yang cukup kuat, keras, lurus dan rata, mudah dibelah, mudah dibentuk dan mudah dikerjakan serta mudah diangkut. Disamping itu dilihat dari segi ekonomi bambu juga relatif lebih murah dibandingkan dengan bahan bangunan lain karena banyak ditemukan di sekitar pemukiman pedesaan (Anonim, 2001).

Adapun jenis-jenis bambu  yang sering digunakan di Indonesia adalah bambu tali, bambu apus, bambu andong, bambu betung, bambu duri dan bambu hitam.   Beberapa jenis bambu akhir-akhir ini mulai banyak digunakan sebagai bahan penghara industri supit, alat ibadah, serta barang kerajinan, peralatan dapur,  topi, tas, kap lampu, alat musik, tirai dan lain- lain (Krisdianto dkk, 2000).

Jenis bambu yang sering digunakan seperti yang disebut di atas mempunyai potensi yang cukup besar, namun jika dibandingkan dengan kayu maka bambu tersebut mempunyai kelemahan teknis (sifat fisis, mekanis dan kimia) sehingga dalam pemanfaatannya belumlah optimal. Untuk itu diperlukan informasi tentang tanaman bambu agar diperoleh tanaman bambu dengan kualitas baik (Setiawaty, E, 2006).

Pengolahan bambu tergantung pada penggunaan atau pemanfaatannya. Selain untuk dimanfaatkan sendiri oleh masyarakat, produk olahan bambu sudah banyak diekspor keluar negeri seperti furniture, kerajinan/handycraft, supit, tusuk gigi dan lain-lain.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka diperlukan informasi bagaimana cara meningkatkan kualitas dan nilai  tambah dari bambu dalam usaha pengembangan industri kecil dan menengah.

Tujuan dari penulisan ini adalah memberikan informasi singkat tentang komoditi bambu dan pengolahannya sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dan kualitas bambu dalam rangka pengembangan industri kecil menengah dan kerajinan.

II. HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 PENGOLAHAN BAMBU DAN PEMANFAATANNYA

Bambu sampai saat ini sudah dimanfaatkan sangat luas oleh masyarakat, mulai dari penggunaan teknologi yang paling sederhana sampai pemanfaatan teknologi tinggi pada skala industri. Pemanfaatan di masyarakat umumnya untuk kebutuhan rumah tangga  dan dengan teknologi sederhana, sedangkan untuk industri biasanya ditujukan untuk orientasi eksport. Adapun beberapa cara pengolahan bambu serta pemanfaatannya antara lain :

2.1.1 Pengawetan

Ada 2 (dua) jenis  metode pengawetan bambu, yaitu metode non- kimia dan metode kimia. Metode non kimia (tradisional) telah digunakan sejak lama di pedesaan. Kelebihan metode ini  yaitu: tidak membutuhkan biaya dan dapat dilakukan sendiri tanpa penggunaan alat- alat khusus. Metode non-kimia, misalnya : curing, pengasapan, pelaburan, perendaman dalam air dan perebusan (Sulistyowati, 1997).

Metode pengawetan secara kimia biasanya menggunakan bahan pengawet. Bahan pengawet yang terkenal adalah Copper-Chrrome-Arsenic (CCA). Metode kimia relatif mahal tetapi menghasilkan perlindungan yang lebih baik. Keberhasilan metode ini tergantung pada ketepatan konsentrasi larutan pengawet yang diberikan. Metode kimia misalnya : metode Butt Treatment, metode tangki terbuka, metode Boucherie, dan fumigasi (Sulistyowati , 1997).

Penelitian pengawetan bambu dengan menggunakan bahan kimia disertai metode yang tepat dan efisien terus dilakukan. Beberapa pengrajin mebel bambu telah melaksanakan pengawetan dengan menggunakan boraks, campuran kapur barus dengan minyak tanah, atau pengasapan dengan belerang. Namun sejauh ini belum diketahui efektifitas bahan-bahan kimia yang digunakan dan metode pengawetan yang dilaksanakan.

Tingkat keberhasilan pengawetan bambu dengan metode kimia tergantung dari beberapa faktor yaitu : kondisi fisik bambu sebelum diawetkan, berat jenis bambu, umur bambu, musim, jenis bahan pengawet serta posisi dan ukuran bambu. Suatu metode pengawetan dikatakan ekonomis apabila umur pakai bambu dapat mencapai waktu 10–15 tahun:  untuk bambu dalam keadaan terbuka, dan 15 –25 tahun untuk bambu yang diberi perlindungan tertentu.

2.1.2 Pengeringan

Proses pengeringan bambu dibutuhkan guna menjaga stabilisasi dimensi bambu, perbaikan warna permukaan, juga untuk  melindungi terhadap serangan jamur, bubuk  basah dan memudahkan dalam pengerjaan lebih lanjut. Kekuatan bambu juga akan bertambah dengan bertambah keringnya bambu. Pengeringan bambu harus dilaksanakan secara hati-hati, karena apabila dilaksanakan terlalu cepat (suhu tinggi dengan kelembaban rendah) atau suhu dan kelembaban yang terlalu berfluktuasi akan mengakibatkan bambu menjadi pecah, kulit mengelupas, dan kerusakan lainnya. Sebaliknya bila kondisi pengeringan yang terlalu lambat akan menyebabkan bambu menjadi lama mengering, bulukan dan warnanya tidak cerah atau menjadi gelap (Anonim, 2009).

Pengeringan bambu dapat dilakukan secara alami (air drying), pengasapan, pengeringan dengan energi tenaga Surya (solar drying) atau kombinasi  dengan energi tungku, dan pengeringan dalam dapur pengering. Penelitian mengenai metode pengeringan bambu  telah dilakukan oleh Basri (1997) dalam Krisdianto dkk (2000). Basri menginformasikan bahwa dengan sistem pengasapan dan energi tenaga surya sebaliknya dilakukan setelah kadar air bambu di bawah 50% agar kualitas bambu tetap terjaga. Bambu yang masih sangat basah setelah dipotong sesuai ukuran yang dipergunakan, dibersihkan dan ditumpuk berdiri dengan posisi saling menyilang atau ditumpuk secara horizontal selama kurang lebih satu minggu. Untuk mempercepat pengeluaran air ditempatkan kipas/fan di dekatnya.

Pengeringan dengan  energi  tenaga surya dilakukan dengan menjaga  agar suhu dan kelembaban tidak berfluktuasi. Usaha yang dilakukan dengan sesering mungkin membuka ventilasi atau menyemprotkan air ke permukaan bambu. Untuk membantu distribusi panas ke seluruh permukaan bambu perlu dipasang kipas yang jumlah dan ukuran dayanya disesuaikan dengan luas  ruangan. Ruangan dengan kapasitas bambu basah 3 m3 diperlukan 2 buah fan yang masing – masing dengan daya 1 PK (HP) dan putaran 1600 RPM.

Dalam ruangan pengering  perlu dijaga keseimbangan suhu serta kelembabannya, agar kualitas  bambu dapat terjaga. Pada malam haripun diperlukan suplai energi ke dalam dapur pengeringan tenaga surya. Suplai energi tersebut dapat berasal dari tungku limbah kayu atau kompor.

Penyimpanan dan penanganan bambu yang telah dikeringkan perlu dilakukan agar kualitas bambu tidak mengalami penurunan. Hal ini perlu dilakukan karena bambu mempunyai sifat hygroskopis, sehingga bambu yang sudah kering akan tetap menyerap air kembali apabila ditempatkan pada kondisi yang lembab. Penerapan dan pengeluaran air yang berulang-ulang biasanya diikuti dengan retak dan pecah pada bambu. Untuk mengatasi kedaan tersebut maka beberapa cara yang perlu diperhatikan diantaranya adalah menyimpan bambu pada ruang yang tidak lembab,  lantai kering dan sirkulasi udara lancar. Hal yang perlu diperhatikan adalah penyimpanan bambu yang sudah kering dan bambu yang masih basah dicampur dalam sutu ruang tertutup. Disamping itu pengangkutan bambu kering harus terlindung dari hujan dan panas yaitu dengan menggunakan bahan pembungkus kedap air, namun juga dapat melewatkan udara yang lembab dari dalam tumpukan bambu.

2.1.3 Stabilisasi Warna

Usaha peningkatan kualitas bambu sebagai bahan kerajinan anyaman adalah dengan meningkatkan kecerahan warna bambu melalui pemutihan. Bambu tali (Gigatochioa apus) yang mempunyai serat yang ulet dan ruas yang panjang  dan sering digunakan sebagai bahan anyaman, telah dipilih oleh Zulnely dan  Dahlian (1999) dalam Krisdianto, dkk (2000) sebagai bahan penelitian pemutihan bambu. Sebagai bahan pemutih digunakan larutan hidrogen peroksida (H2O2) dan digunakan bahan bambu yang berbeda umurnya, pada ruas yang terpisah. Untuk mengetahui kemungkinan perubahan kekuatannya dilakukan uji keteguhan tarik. Hasil derajat pemutihan dan keteguhan tarik bambu tali terdapat pada Tabel 1.

Selain   pencerahan   warna   bambu,pada beberapa tujuan produksi kadang ditemukan keinginan untuk menampilkan bambu dalam warna kulit alaminya. Hal ini disebabkan  karena  kecenderungan  kulit bambu untuk berubah warna menjadi kuning setelah melalui proses pengeringan alami. Pengawetan mengenai warna hijau kulit bambu telah dilaksanakan  pada bambu andong (Gigantochloa verticillata Munro) oleh Barly dan Ismanto (1998) dalam Krisdianto dkk (2000). Hasil dari penelitian ini adalah kulit bambu cendrung untuk tetap berwarna hijau sesuai dengan warna alaminya. Pengawetan warna hijau kulit bambu andong dengan menggunakan campuran larutan terusi dan nikel sulfat dengan pengeringan selama 14 – 28 hari.

2.1.4 Bambu Lapis

Seperti halnya kayu diolah menjadi kayu lapis maka bambu juga digunakan sebagai bahan baku kayu lapis. Berbagai macam produk bambu lapis dibuat  baik dari sayatan bambu maupun pelepah bambunya. Jenis yang umum dipakai untuk bambu lapis adalah bambu  tali (Gigantocloa apus). Kadang–kadang bambu lapis ini dicampur dengan veneer kayu meranti untuk lapisan dalamnya, atau sebaliknya lapisan luarnya berupa veneer kayu.

Penelitian pembuatan produk majemuk dari bahan bambu telah dilakukan oleh Kliwon (1997) dalam Ridwati (2002). Pembuatan bambu lapis itu menggunakan bahan bambu tali (Gigontochloa apus). Hasil dari penelitian itu menunjukan  bahwa rendemen pelupuh bambu dengan  tebal 4,7 mm adalah 67,72 % dan rendemen bambu lapisnya adalah sebesar 54,45 %.

2.1.5 Bambu Lamina

Bambu lamina produk olahan bambu dengan cara merekatkan potongan- potongan dalam panjang tertentu menjadi beberapa lapis yang selanjutnya dijadikan papan atau bentuk tiang. Lapisannya umumnya 2–5 lapis. Banyaknya lapisan tergantung ketebalan yang diinginkan dan penggunaannya. Dengan bahan perekat yang baik maka kekuatan bambu lamina dapat disejajarkan dengan kekuatan kayu kelas III.

2.1.6 Papan Semen

Papan semen bambu terbuat dari bambu, semen dan air kapur. Bambu terlebih dahulu diserut, kemudian direndamkan dalam air selama dua hari. Selanjutnya dicampur ketiga  bahan tersebut dan kemudian dibentuk papan pada suhu 560 C dengan waktu selama 9 jam.

2.1.7 Furniture dan Perkakas Rumah Tangga

Bambu yang dipergunakan untuk mebel harus memenuhi beberapa syarat. Selain warna yang menarik juga dapat dibentuk secara istimewa dengan nilai seni yang tinggi tetap memenuhi kekokohannya. Olesan pengawet dan penghias, seperti pernis meningkatkan keawetan dan penampilan dengan tetap berkesan alami. Perkakas rumah tangga dan hiasan dari bambu digemari karena disamping tidak berkarat juga mencerminkan kesederhanaan tapi anggun. Bambu hitam dan bambu betung banyak  digunakan untuk furniture antara lain: meja, kursi, tempat tidur, meja makan, lemari pakaian dan lemari hias. Disamping itu bambu juga banyak dipakai menjadi peralatan rumah tangga dan assesoris penghias rumah.

2.1.8 Arang

Pembuatan arang dari bambu dilakukan dengan cara destilasi kering dan cara timbun skala semi pilot. Bambu yang sudah dicobakan adalah bambu  tali, bambu ater, bambu andong dan bambu betung. Nilai kalor arangnya rata-rata 6602 kal/gr, dan yang paling baik dijadikan arang adalah bambu ater dimana sifat arang yang dihasilkan relatif sama dengan sifat arang dari kayu bakau.

2.1.9 Pulp

Bahan bambu memiliki kandungan selulosa yang sangat cocok untuk dijadikan bahan kertas dan rayon, bahkan China sangat mengandalkan bahan bambu sebagai bahan baku industri kertasnya. Pemanfaatan bambu sebagai bahan kertas di Indonesia telah diterapkan pada industri di Gowa dan Banyuwangi, tetapi karena menemui beberapa kendala dalam pengadaan bahan baku, maka perusahaan kertas itu lebih banyak menggunakan bahan baku lain. (Nuriyatin, 2001).

Adapun penelitian dengan menggunakan campuran antara bahan bambu dengan kayu daun lebar telah dilakukan oleh Pasaribu dan Silitonga (1974) dalam Batubara, Ridwati (2002) . Secara keseluruhan pulp hasil campuran kayu dan bambu ini mudah diputihkan.

2.1.10 Barang Kerajinan dan Handycraft

Berbagai kerajinan dan handycraft yang bahan dasarnya dibuat dari bambu antara lain : tempat pulpen, gantungan kunci, cup lampu, keranjang, tas, topi dan lain-lain. Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah keterampilan dan kreativitas dalam memanfaatkan bambu.

Dengan teknologi pengolahan bambu yang tepat dan benar, maka bambu dapat memiliki nilai tambah dan dihasilkan berbagai produk bambu dengan kualitas yang cukup tinggi.

IV. KESIMPULAN

1. Bambu dapat ditingkatkan nilai tambah dan kualitasnya melalui teknologi pengolahan bambu yang tepat diantaranya melalui pengawetan, pengeringan, stabilisasi warna, bambu lapis, bambu lamina.

2. Teknologi pengolahan dan pemanfaatan bambu yang berkembang di masyarakat saat ini telah mempu menjalankan roda perekonomian masyarakat terutama industri bambu yang mempunyai skala kapasitas industri kecil menengah dan kerajinan.

3. Kegunaan dan pemanfaatan bambu masih sangat luas untuk dikembang kan, sehingga memungkinkan adanya produk-produk lain dari bahan baku bambu.


V. DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, 2001. Bambu. http://id.wikipedia.org/wiki/bambu (diakses tanggal 12 September 2009)

2. Anonim, 2009. Bambu. http://infokehutananjambi.org.id (diakses tanggal 15 Oktober 2009)

3. Batubara Ridwati, 2002. Pemanfaatan Bambu di Indonesia. Fakultas Pertanian. Program Ilmu Kehutanan. Universitas Sumatera Utara. Medan

4. Firdaus A., 2008. Rekayasa Mesin Pembuat Strip/Venir Bambu.  Balai Riset dan Standardisasi Industri Banjarbaru.

5. Krisdianto, Sumarni G. dan Ismanto A., 2000. Sari Hasil Penelitian Bambu. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

6. Markus, 2009. Tanaman Bambu (Potensi Yang Belum Dikembangkan). Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan. Banjarbaru

7. Nuriyatin N., 2001. Studi Analisa Sifat – Sifat Dasar Bambu Sebagai Bahan Baku Kertas. Jurnal Ilmu – Ilmu Pertanian Indonesia. Jakarta.

8. Danaatmaja, O. 2009. Bambu, Tanaman Tradisional Yang Terlupakan. http://www.freelists.org/post/nasional_list (diakses tanggal 14 Oktober 2009).

9. Setiawaty, E. dan Masyamah, 2006. Analisis Pemanfaatan Bambu Dalam Industri Dan Kerajinan Ditinjau Dari Aspek Sifat Fisik Dan Mekanik Dan Prospeknya Di Masa Yang Akan Datang. Warta Balai  Industri Banjarbaru, Vol. XXI., No. 1, Edisi Juni 2006, Balai Riset dan Standardisasi Industri. Banjarbaru

10. Sulistyowati C.A.,1997. Pengawetan Bambu. Teknologi Wacana. Pusat Informasi Teknologi Terapan ELSPPAT. Jakarta.


Posting Komentar untuk "[Kajian] Pengolahan Bambu dan Pemanfaatannya dalam Usaha Pengembangan Industri Kecil Menengah dan Kerajinan"